BANYUWANGI - Mahasiswa hukum diajarkan cara mengidentifikasi dan memisahkan isu, memilih dan memilah argumen, memformulasikan ide dan mengartikulasikannya dengan diksi yang tepat. Mahasiswa hukum juga dilatih untuk bernegosiasi, membangun alur berfikir yang bernas, bertanya dengan jitu, membaca dan memahami masalah dengan cepat. Untuk kemudian menyimpulkan inti permasalahan dan jalan keluar secara cermat.
Semua keterampilan itu sangat relevan dalam menekuni profesi apapun termasuk jurnalisme yang lama saya tekuni. Sebagaimana pengacara, jaksa, atau hakim, seorang jurnalis juga berurusan dengan problem atau istilah hukumnya dengan perkara.
Baca juga:
Realease Kompas Bagaimana Respon Kita ?
|
Kemampuan untuk memahami problem secara komprehensif, mengetahui sudut pandang yang cocok untuk menggeledah persoalan, mencium lubang sekecil apapun untuk menemukan kejanggalan, merumuskan pertanyaan-pertanyaan jitu untuk mengeluarkan nista atau alibi. Itu semua adalah metode yang digunakan berinvestigasi dalam menyusun narasi berita yang akurat, untuk menghadirkan liputan yang kuat, tajam, dan berdampak.
Sebagai orang yang bertahun-tahun mewawancarai dan menguji pernyataan pejabat-pejabat publik, saya merasa beruntung punya latar belakang akademik ilmu hukum. Dari sana saya belajar keterampilan menelisik detail fakta, membersihkannya dari hal yang tidak relevan dan mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang berpotensi mengunci.
Baca juga:
Tony Rosyid: Firli dan Prahara di KPK
|
Sebagaimana penyair, kita adalah orang-orang yang sadar akan kekuatan kata-kata. Yang membedakan peran kata-kata antara penyair dan jurnalis, hanya tujuannya saja. Kata WS Rendra, perjuangan adalah pelaksanaan kata-kata. Bagi seorang jurnalis, berkata-kata adalah jalan perjuangan itu sendiri.
Penulis: Hariyono Pemimpin Redaksi Publikbanyuwangi.com
Baca juga:
R. Kholis Majdi: HTI Tidak Berpolitik!
|